Namun ada segelintir orang telah berupaya menyelewengkan pengertian keduanya sehingga seolah-olah bai’at itu syahadat dan syahadat itu bai’at. Tentu saja pengertian salah seperti ini jelas punya tujuan tendensius dan merupakan bentuk kesesatan yang serius.
Padahal dari segi lafadznya saja sudah berbeda. Syahadat itu berbunyi asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah , sedangkan bai’at itu berbunyi ubayi’ukum ‘alas sam’i wath-tha’ah fi tha’atillai wa rasulihi .
Syahadat itu adalah ikrar tentang masalah tuhan dan kenabian, di mana seorang muslim menyatakan tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah, sekaligus ikrar bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Sedangkan ba’iat adalah ikrar untuk mengangkat seseorang menjadi pemimpin dan pernyataan siap untuk mentaatinya.
Sehingga jelaslah bahwa syahadat itu bukan bai’at dan bai’at itu bukan syahadat. Syahadat itu sebagai ikrar dari seorang non muslim untuk masuk Islam, sedangkan bai’at itu adalah sumpah atau pengangkatan seseorang untuk dijadikan pemimpin.
Orang kafir yang tidak mengucapkan syahadat berarti dia belum masuk Islam. Statusnya adalah kafir karena memang aslinya adalah orang kafir. Adapun orang muslim, selain secara nyata dia sudah menunjukkan dirinya sebagai muslim, secara lafadz pun sudah pasti dia melakukan syahadat berkali-kali dalam sehari. Dan pengakuan sejak awal bahwa dia adalah seorang muslim sudah cukup untuk dikatakan bahwa dia memang muslim, sehingga seorang muslim sama sekali tidak memerlukan syahadat ulang. Dia adalah muslim karena sejak awal pun memang sudah muslim.
Maka sungguh salah dan sesat kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa seorang yang sudah muslim harus bersyahadat ulang, kalau tidak maka dia adalah orang kafir. Pendapat seperti ini tidak akan lahir dari mulut seorang yang mengerti hukum aqidah, kecuali dari kelompok sesat yang berpaham takfir. Yaitu aliran sesat yangmudah mengkafirkan orang lain. Bahkan fatalnya paham sesat ini adalah berangkat dari asumsi bahwa semua orang di dunia ini pada dasarnya kafir, kecuali yang mau setia taqlid buta pada kelompok sesat itu.
Padahal dalam ilmu aqidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, setiap orang itu lahir dalam keadaan muslim. Barulah kemudian kedua orang tuanya yang akan mengajaknya kepada kekafiran. Mungkin dijadikan yahudi, nasrani atau majusi. Kalau mereka suatu saat mau masukIslam, haruslah membuat pernyataan/ ikrar yang disebut dengan syahadat. Namun bila seorang bayi lahir dari kedua orang tua yang muslim dan tumbuh dalam pendidikan Islam, sudah secara otomatis dia menjadi muslim. Dan sama sekali tidak perlu bersyahadat ulang.
Dan kafirnya seorang muslim itu harus melewati sebuah proses yang bernama murtad . Namun selama seorang muslim tidak melakukan hal-hal yang termasuk dalam kategori kemurtadan yang disahkan oleh pengadilan syariah, maka dia adalah muslim 100%.
Para shahabat Nabi SAW dahulu awalnya pun masih kafir. Lalu mereka masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Sejak awal mula turunnya wahyu, sudah banyak shahabat yang masuk Islam. Hingga menjelang hijrah ke Madinah baru ada bai’at. Ini menunjukkan bahwa syahadat itu bukan bai’at dan bai’at itu bukan syahadat. Di dalam sirah nabawiyah, keduanya dipisahkan oleh jarak waktu hampir 10 tahun. Dan para shahabat nabi SAW yang masukIslam di awal mula turun wahyu tetap dianggap muslim, meski mereka tidak ikut berba’ait.
Perlu diketahui bahwa bai’at di dalam sirah nabawiyah ada beberapa kali. Yang awal pertama terjadi adalah bai’at Aqabah I dan bai’at Aqabah II. Dua-duanya hanya untuk para anshar dari Yatsrib . Adapun para shahabat yang lainnya tidak ikut berbai’at. Kalau dikatakan bahwa yang tidak bai’at itu kafir, seharusnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali itu kafir, lantaran tidak ikut bai’at.
Jadi pemahaman seperti yang Anda kemukakan itu jelas sekali salahnya, bahkan bertentangan dengan realita sejarah di masa Nabi SAW, juga bertentangan dengan manhaj salafushalih, serta bertentangan dengan ilmu aqidah dan syariah. Tidaklah ada orang yang mau dicocok hidungnya dengan doktrin sesat seperti ini kecuali orang-orang yang lemah iman, kurang ilmu dan jahil terhadap agamanya sendiri.
Kewajiban Berbai’at
Kalau umat Islam sedunia bisa menyatukan aqidah, fikrah dan manhaj hingga sampai ke satu gerakan, insya Allah saat itulah umat Islam akan punya pemimpin. Dan pada saat itulah umat Islam dengan suka rela menyatakan ketaatan kepada pemimpinnya itu dengan sebuah ritual bai’at. Pemimpin itu secara aklamasi diangkat oleh 1,5 milyar umat Islam sedunia untuk menjadi khalifah kepemimpinan Rasulullah SAW.
Kalau sekarang ini, di mana wajah umat Islam masih centang perenang, kusut tidak karuan, saling ejek, saling caci, saling tonjok bahkan saling adu jotos sesama mereka, khilfah yang diidamkan itu rasanya masih jauh dari kenyataan. Jelas saat ini kita tidak punya satu orang yang bisa dibai’at secara international. Kalau pun sekarang ini ada yang dibai’at, maka bukan bai’at untuk menjadi pemimpin seluruh umat , melainkan pemimpin lokal kecil-kecilan saja, mungkin setingkat RT atau RT. Atau setingkat sebuah ormas, jamaah kecil-kecilan atau jamaah pengajian yasinan dan sebagainya. Dan sama sekali bukan representasi pemimpin dari seluruh umatIslam sedunia.
Hukum membai’atnya suka-suka saja. Kalau rasanya kita setuju untuk mengangkatnya menjadi pemimpin untuk lokal tertentu, silahkan saja dibai’at. Tapi jangan sampai ada keyakian bahwa siapa yang tidak ikut membai’atnya, lantas menjadi kafir. Iniadalah sebuah penyimpangan paham aqidah yang sesat dan menyesatkan.
Maka hukum bai’at berbeda tergantung orang yang melaksanakannya. Adapun ahlu al-halli wa al-‘aqdi, maka mereka wajib berbai’at terhadap imam yang telah mereka pilih, jika syarat-syarat keimaman telah terpenuhi pada imam terpilih tersebut.
Adapun masyarakat umum, pada asalnya setiap orang wajib melakukan bai’at terhadap imam berdasar bai’at ahlu al-halli wal ‘aqdi terhadap imam tersebut. Karena Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang mati dan tidak ada ikatan bai’at di pundaknya maka ia pasti mati seperti mati di jaman jahiliyah”
Namum begitu, Fuqoha Malikiah berpendapat, masyarakat umum tidak perlu melakukan bai’at. Tetapi cukup bagi mereka meyakini bahwa mereka di bawah perintahimam yang dibai’at dan mereka diharuskan untuk taat terhadap imam tersebut
Sedangkan orang yang terpilih untuk menjadi imam, ia wajib menerima bai’at tersebut jika memang terpilih dan tidak ada orang yang memenuhi persyaratan selain dirinya. Akan tetapi jika yang memenuhi persyaratan jumlahnya lebih dari satu maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardu kifayah.
Pengertian Keliru Tentang ‘Mati Jahiliyah’ Bila Tidak Berbai’at
Dalam kitab legendaris yang meurpakan kitab penjelasan shahih Bukhari, Fathul Baary, Ibnu Hajar memberikan komentar tentang pengertian “Miitatan Jahiliyyatan” bahwa yang dimaksud dengan kalimat tersebut aadalah sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “mati Jahilyyah” dengan bacaan mim kasrah “Miitatan bukan Maitatan” adalah keadaan matinya seperti kematian di jaman Jahiliyyah dalam keadaan sesat tiada imam yang ditaati karena mereka tidak mengetahui hal itu. Dan bukan yang dimaksud itu ialah mati kafir tetapi mati dalam keadaan durhaka”
Imam al-Qadhy ‘Iyadh berkata bahwa yang dimaksud dengan sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang keluar dari ketaatan imam dan meninggalkan jama’ah maka ia mati miittan jahiliyyatan” adalah dengan mengkasrah mim “miitatan” yaitu seperti orang yang mati di jaman Jahiliyyah karena mereka ada dalam kesesatan dan tidak melaksanakan ketaatan kepada seorang imam pun” 6/258}
Ahmad Sarwat, Lc
Maaf Copast... ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar